Laman

Selasa, 04 Mei 2010

JAM BELAJAR MASYARAKAT DAN BUDAYA KEBERAKSARAAN

Sebagai kota pelajar, Yogya memang layak dicontoh. Pemerintah bersama masyarakat di sana bertekad menjadikan seluruh lapisan masyarakat sebagai manusia pembelajar. Caranya di gang-gang kampung dipasang dengan papan “Jam Belajar Masyarakat Pukul 18.00 - 20.00”. Gerakan ini layak diungkap kembali, lebih-lebih Hari Pendidikan Nasional tidak lama lagi kita peringati.
Bila direnungkan substansi gerakan jam belajar masyarakat adalah menggalakkan budaya keberaksaraan (literacy). Maksudnya membudayakan kebiasaan membaca untuk selanjutnya menuju budaya menulis. Ini amat positif bila dikaitkan dengan salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan, yakni pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap masyarakat.
Tentang gerakan gemar membaca tak ada salahnya bila kita belajar dari Negeri Malaysia. Karena animo tinggi masyarakat dan pemerintah dalam upaya menggalakkan gemar membaca, dalam beberapa tahun terakhir puluhan buku diterbitkan. Sementara negara kita yang penduduknya berlipat baru menerbitkan kurang lebih 2.500 buku (Buletin Pusat Perbukuan, 2000). Minat baca masyarakat Malaysia yang tinggi tidak terlepas dari kepedulian pemerintah di sana terhadap pentingnya membaca. Negara itu memiliki lima prinsip peningkatan minat baca yaitu knowledge minded (cinta pengetahuan), innovating minded (cinta perubahan), reflektif, kreatif, dan proaktif.
Menurut mereka sumber daya manusia yang baik bersumber dari insan-insan yang gemar membaca. Karenanya tak mengherankan bila negeri itu dinilai sebagai salah satu negara yang memiliki sumber daya manusia manusia berkualitas di kawasan Asia. Bagaimanakah dengan minat baca masyarakat kita? Melihat kenyataan yang ada harus ada upaya sungguh-sungguh dari semua pihak.
Menurut Paul Ohouwitan (Buletin Pusat Perbukuan, 1997), setidak-tidaknya ada dua fakta mengapa aksi penggalakan minat dan kegemaran membaca masyarakat kita harus terus dilakukan. Pertama, mayoritas orang-orang Indonesia termasuk anak usia sekolah jarang membaca bila tidak dipaksakan. Di tempat-tempat umum mereka lebih senang bercanda, menonton TV bila disediakan, atau hanya duduk diam. Hanya segelintir orang yang tekun membaca. Kedua, lebih dari 90% kemajuan yang dicapai negara-negara maju disebabkan oleh sinergi kegiatan belajar formal anak didik di kelas dan ketekunan membacanya yang digalakkan di luar kelas atau di luar jam belajar. Namun, taman bacaan atau perpustakaan umum bagi masyarakat kita belum merupakan tempat yang penting dan layak disinggahi disamping mall, supermarket, dan entah apa lagi. Bahkan, menurut Kepala Perpustakaan Nasional Dadi P Rahmananta, seusai mencanangkan Budaya Baca di Sukabumi, terdapat 190 kabupaten dan kota di Indonesia tidak memiliki perpustakaan umum yang terbuka untuk masyarakat. Hal ini terjadi karena kepala daerah tidak responsif terhadap minat baca masyarakat (Kompas, 2 April 2008).
Rendahnya minat baca diyakini banyak kalangan sebagai salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan. Jam Belajar Masyarakat dapat disebut sebagai salah satu cara meretas persoalan tersebut. Namun, jangan buru-buru berasumsi dengan langkah itu persoalan segera beres. Diperlukan banyak variabel yang saling terkait anatar lain peran tokoh masyarakat, lembaga pendidikan, ketersediaan tempat dan bahan bacaan, dan masih banyak lagi. Siapkah masyarakat kita ditengah deraan kenaikan harga yang kian berat? Tidakkah ini dianggap sebagai sesuatu yang mengada-ada?
Namun, harus diingat kemampuan baca tulis bukanlah kompetensi bawaan atau yang dibawa sejak lahir. Kemampuan tersebut diperoleh seseorang melalui proses belajar yang butuh waktu. Karenanya, pemasyarakatan budaya keberaksaraan ini harus terus dilakukan manakala kita masih berangan-angan suatu saat nanti hal itu akan menjadi budaya.

Beberapa Alasan
Upaya ke arah itu merupakan pekerjaan teramat berat dan membutuhkan kesungguhan luar biasa. Ada dua hal mendasar yang dapat dijadikan alasan. Pertama, karena yang menjadi sasaran utama gerakan jam belajar adalah anak usia sekolah, sebaiknya kita lihat kondisi pendidikan kita pada umumnya. Meskipun kurikulum tahun demi tahun disempurnakan, proses pembelajaran yang dilakukan guru belum memberikan ruang yang cukup budaya keberaksaraan. Kegiatan pembelajaran yang dibangun dalam praktik pendidikan kita lebih banyak pada tataran lisan daripada tataran keberaksaraan. Di samping itu, kecenderungan pembelajaran juga masih menitikberatkan proses berpikir reproduktif daripada proses berpikir kreatif dan reflektif.
Kenyataan yang ada peserta didik tetap saja belum banyak diberikan kesempatan untuk melahirkan gagasan kritis dalam wujud tulisan. Kata Roger Lewin, “Kita terlalu sering memberi anak-anak jawaban untuk dihafalkan daripada memberikan pemecahan untuk masalahnya”. Padahal, harus dingat bahwa penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi terkait langsung dengan budaya baca-tulis. Kebutuhan ini sangat mendesak karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berlangsung amat cepat.
Salah satu hasil penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa hanya 5 persen waktu belajar yang digunakan untuk bertatap muka dengan guru. Selebihnya digunakan untuk membaca buku baik di kelas, di perpustakaan, maupun di rumah. Di samping itu, dilakukan pembelajaran berbasis masalah (problem solving). Buku dan belajar merupakan dua hal yang tak terpisahkan. Bahkan, di negara-negara maju, peorangan atau lembaga tak mungkin mendirikan sekolah sebelum tersedia koleksi perpustakaan yang memadai.
Jujur saja harus diakui, keberadaan perpustakaan bagi sebagian sekolah belum menjadi prioritas utama. Bagaimana mungkin akan meningkatkan minat dan kegemaran membaca dan menulis jika kondisi perpustakaan dan keminiman koleksi buku tak diperhatikan sungguh-sungguh. Dalam kondisi demikian tidaklah mengherankan bila manusia-manusia yang dihasilkan oleh system pendidikan kita dewasa ini merupakan masyarakat yang aliterat, yakni manusia yang dapat membaca tetapi belum mengembangkan budaya membaca atau manusia-manusia yang dapat menulis namun belum mengembangkan tradisi menulis.
Oleh sebab itu, jikalau ingin nasib bangsa ini berubah menjadi lebih baik pada kurun waktu yang akan datang semua pihak harus menyadari dan menanggapi secara serius persoalan tersebut. Dalam era otonomi, sudah semestinya daerah memiliki komitmen dan keberpihakan sungguh-sungguh terhadap keberadaan ruang dan sarana baca baik yang disediakan untuk masyarakat umum maupun untuk peserta didik di sekolah.
Kedua, budaya keberaksaraan belum menjadi kebiasaan masyarakat kita. Sebagaimana diungkapkan pada awal tulisan ini, budaya keberaksaraan sudah menjadi cirri masyarakat Malaysia dan juga Singapura. Di mana-mana kebanyakan masyarakatnya membawa bahan bacaan. Asal ada waktu luang mereka membaca. Juga kebiasaan wisatawan mancanegara di Indonesia, mereka melakukan kegiatan membaca bila ada kesempatan. Sebaliknya, pada masyarakat kita, apa yang dilakukan? Kebiasaan umum yang dilakukan justru mengobrol malah ‘menggosip’.
Kebiasaan demikian turut pula mempengaruhi minat dan kegemaran membaca seseorang. Memang, perkembangan seseorang amat dipengaruhi kondisi sosial serta latar belakang budaya masyarakatnya. Juga, mayoritas keluarga pada umumnya belum menjadikan kebutuhan baca-tulis sejajar dengan kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Fenomena tersebut tak dapat dihindari. Konsumtivisme dalam masyarakat kita teramat menonjol. Lihat saja, keramaian toko pakaian amat jauh berbeda dengan toko buku.
Konon, di negara-negara maju yang diutamakan dalam sebuah keluarga adalah dapur keluarga, ruang keluarga, dan perpustakaan keluarga (rak buku). Dengan perpustakaan keluarga memungkinkan kelurga tersebut mengembangkan kreativitas serta semangat untuk maju khusunya kepada anak-anaknya. Untuk menumbuhkan semangat berprestasi di kalangan anak-anak, Pemerintah Inggris menggunakan media karya sastra, terutama dongeng dan cerita anak. Kondisi semacam ini seyogyanya dirintis mengingat pendidikan yang pertama dan utama berlangsung di lingkungan keluarga.
Oleh sebab itu, gerakan jam belajar masyarakat bisa dipandang sebagai upaya menggugah kesadaran belajar masyarakat. Terlebih lagi anak-anak usia sekolah di mana kesadaran belajar diawali dengan pembiasaan kegiatan membaca dan menulis.

Masyarakat Wacana
Dalam perspektif lebih luas upaya penggalakan minat dan kegemaran membaca memiliki makna strategis menuju masyarakat beradab dan modern. Kita akui kita sudah masuk pada abad informasi. Kehidupan manusia kini dan mendatang dipenuhi warna kehidupan yang serba informatif. Selain itu, manusia memiliki kemampuan melipatgandakan kecepatan informasi ke segenap penjuru bumi. Informasi mengalir tanpa mengenal ruang, waktu, dan batas wilayah. Dalam konteks ini prinsip belajar sepanjang hayat amat sesuai demi mengimbangi pesatnya arus kemajuan dan globalisasi.
Salah satu ciri masyarakat beradab dan modern adalah masyarakat yang memiliki budaya kebearksaraan tinggi, yakni masyarakat yang bercirikan budaya belajar, baca-tulis. Ini bermuara pada terbentuknya masyarakat wacana (discourse community). Anggota masyarakat wacana dikatakan utuh manakala masyarakatnya memiliki budaya membaca (reseptif) dan mempunyai kemampuan menulis (produktif).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kebiasaan serta kemampuan membaca dan menulis mempunyai peran sosial penting dalam sejarah kehidupan manusia. Hal ini mengisyaratkan kemampuan tersebut merupakan hal amat vital dalam kehidupan masyarakat berbudaya. Oleh karenanya, penumbuhkembangan serta aksi penggalakan minat dan kegemaran membaca-menulis terus-menerus harus dilakukan. Semakin terampil baca-tulis akan semakin terampil seseorang bernalar. Semakin terampil bernalar, diharapkan semakin arif pula seseorang menghadapi carut-marutnya kehidupan dewasa ini. Akankah harapan-harapan tersebut dapat diwujudkan, sebuah pertanyaan yang tidak perlu tergesa-gesa dijawab sekarang.

*) Penulis : Eko Budi Santosa, S.Pd.
Kepala SMP Negeri 3 Bobotsari, Purbalingga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar