Kalau
kita berbicara tentang kepemimpinan pendidikan, pada umumnya akan
tertuju pada peran dan tugas seorang kepala sekolah. Pemahaman dan
persepsi seperti ini bisa dimaklumi karena hampir sebagian besar
penelitian dan literatur yang membahas tentang kepemimpinan pendidikan
lebih cenderung membicarakan tentang kepemimpinan kepala sekolah.
Sementara penelitian dan literatur yang mengkaji secara spesifik tentang
kepemimpinan guru tampaknya masih relatif terbatas.
Lantas, apa Kepemimpinan Guru (Teacher Leadership) itu? York-Barr and Duke (The Institute for Educational Leadership’s, 2008)
mengemukakan rumusan kepemimpinan guru yang sejalan dengan perubahan
peran guru dalam konteks perkembangan pendidikan saat ini, bahwa:
“Teacher leadership is the process by which teachers, individually or collectively, influence their colleagues, principals, and other members of the school communities to improve teaching and learning practices with the aim of increased student learning and achievement. Such team leadership work involves three intentional development foci: individual development, collaboration or team development, and organizational development.”
Dari pengertian di atas tampak bahwa kepemimpinan guru
pada dasarnya merupakan suatu proses untuk mempengaruhi orang lain yang
didalamnya berisi serangkaian tindakan atau perilaku tertentu terhadap
invididu yang dipengaruhinya. Kepemimpinan guru tidak hanya sebatas pada
peran guru dalam konteks kelas pada saat berinteraksi dengan siswanya
tetapi menjangkau pula peran guru dalam berinteraksi dengan kepala
sekolah dan rekan sejawat, dengan tetap mengacu pada tujuan akhir yang
sama yaitu terjadinya peningkatan proses dan hasil pembelajaran siswa.
Kepemimpinan guru memfokuskan pada 3
dimensi pengembangan, yaitu: (1) pengembangan individu; (2) pengembangan
tim; dan (3) pengembangan organisasi.
- Dimensi pengembangan individu merupakan dimensi utama yang berkaitan dengan peran dan tugas guru dalam memanfaatkan waktu di kelas bersama siswa. Disini guru dituntut untuk menunjukkan keterampilan kepemimpinannya dalam membantu siswa agar dapat mengembangkan segenap potensi yang dimilikinya, sejalan dengan tahapan dan tugas-tugas perkembangannya. Melalui keterampilan kepemimpinan yang dimilkinya, diharapkan dapat menghasilkan berbagai inovasi pembelajaran, sehingga pada gilirannya dapat tercipta peningkatan kualitas prestasi belajar siswa.
- Dimensi pengembangan tim menunjuk pada upaya kolaboratif untuk membantu rekan sejawat dalam mengeksplorasi dan mencobakan gagasan-gagasan baru dalam rangka meningkatkan mutu pembelajaran, melalui kegiatan mentoring, coaching, pengamatan, diskusi, dan pemberian umpan balik yang konstruktif. Dimensi yang kedua ini berkaitan upaya pengembangan profesi guru.
- Sedangkan dimensi organisasi menunjuk pada peran guru untuk mendukung kebijakan dan program pendidikan di sekolah (dinas pendidikan), mendukung kepemimpinan kepala sekolah (administrative leadership) dalam melakukan reformasi pendidikan di sekolah serta bagian dari peran serta guru dalam upaya mempertahankan keberlanjutan (sustanability) sekolah.
Ketiga dimensi di atas memberikan
gambaran tentang: (1) peran guru dalam memimpin siswanya, (2) peran guru
dalam memimpin rekan sejawatnya; dan (3) peran guru dalam memimpin
komunitas pendidikan yang lebih luas.
Di Amerika, gagasan tentang kepemimpinan guru (teacher leadership) sudah berlangsung sejak lama, yang terbagi ke dalam 3 (tiga) gelombang.
- Gelombang pertama, kepemimpinan guru terkungkung dalam hierarki organisasi formal dan hanya berkutat dalam fungsi-fungsi pengajaran, di bawah kendali ketat dari “atasan guru”. Di sini, guru hanya dipandang sebagai pelaksana keputusan atasan.
- Gelombang kedua, kepemimpinan guru telah lepas dari hierarki organisasi konvensional. Di sini, telah terjadi pemisahan antara kepemimpinan dengan fungsi pengajaran, yakni dengan dibentuknya semacam tim pengembang kurikulum secara formal. Walaupun demikian, kepemimpinan guru masih di bawah kendali tim pengembang kurikulum. Tugas guru adalah mengimplementasikan bahan-bahan yang telah disiapkan oleh tim pengembang kurikulum. Pendekatan yang digunakan pada gelombang kedua ini sering disebut sebagai “remote controlling of teachers”.
- Gelombang ketiga, konsep kepemimpinan guru telah mengintegrasikan pengajaran dengan kepemimpinan yang tidak bersifat formal. Kepemimpinan guru dipandang sebagai sebuah proses dengan memberikan kesempatan yang luas kepada guru untuk mengekspresikan kapabilitas kepemimpinannya. Konseptualisasi kepemimpinan guru dibangun atas dasar profesionalisme dan kesejawatan. (disarikan dari James S. Pounder, 2006).
Trend kepemimpinan guru di atas, dalam
batas-batas tertentu tampaknya tidak jauh berbeda dengan apa yang
terjadi di Indonesia. Penerapan konsep Manajemen Peningkatan Mutu
Berbasis Sekolah (MPMBS) yang digulirkan sejak awal masa reformasi yang
kemudian diikuti dengan gerakan profesionalisasi guru yang saat ini
sedang gencar digaungkan, tampaknya menjadi bagian yang tak terpisahkan
dari pergeseran konsep dan makna kepemimpinan guru di Indonesia.
Sesungguhnya banyak model dan gaya
kepemimpinan yang bisa diterapkan guru dalam mewujudkan kepemimpinannya.
Merideth (2000) menawarkan model kepemimpinan guru dengan apa yang
disebut REACH, akronim dari:
- Risk-Taking. Guru berusaha mencari tantangan dan menciptakan proses baru.
- Effectiveness. Guru berusaha melakukan yang terbaik, peduli terhadap pertumbuhan dan pengembangan profesinya dan bekerja dengan hati.
- Autonomy. Guru menampilkan inisiatif, memiliki pemikiran yang independen dan bertanggung jawab.
- Collegiality. Guru membangun kemampauan komunitasnya dan memiliki keterampilan komunikasi interaktif.
- Honor. Guru dapat menunjukkan integritas, kejujuran, dan menjaga etika profesi.
Selain itu, guru dapat pula menerapkan
gaya Kepemimpinan Transformasional sebagaimana digagas oleh Bass, dengan
karakteristik yang dikenal dengan sebutan 4 I, yaitu: idealized influence, inspirational motivation, intellectual stimulation, dan individual consideration.
- Idealized influence. Guru merupakan sosok ideal yang dapat dijadikan sebagai teladan, dapat dipercaya, dihormati dan mampu mengambil keputusan yang terbaik untuk kepentingan peningkatan mutu pembelajaran.
- Inspirational motivation: guru dapat memotivasi seluruh siswa dan sejawatnya untuk memiliki komitmen terhadap visi organisasi dan mendukung semangat team dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan di sekolah.
- Intellectual Stimulation: guru dapat menumbuhkan kreativitas dan inovasi dengan mengembangkan pemikiran kritis dan pemecahan masalah untuk menjadikan pembelajaran ke arah yang lebih baik.
- Individual consideration: guru dapat bertindak sebagai pelatih dan penasihat, serta menyediakan umpan balik yang konstruktif bagi siswa dan sejawatnya.
Bryman (1992) menyebut kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan baru (the new leadership), sedangkan Sarros dan Butchatsky (1996) menyebutnya sebagai pemimpin penerobos (breakthrough leadership).
Disebut sebagai penerobos karena pemimpin semacam ini mempunyai
kemampuan untuk membawa perubahan-perubahan yang sangat besar terhadap
individu-individu maupun organisasi dengan jalan: memperbaiki kembali (reinvent)
karakter diri individu-individu dalam organisasi ataupun perbaikan
organisasi, memulai proses penciptaan inovasi, meninjau kembali
struktur, proses dan nilai-nilai organisasi agar lebih baik dan lebih
relevan, dengan cara-cara yang menarik dan menantang bagi semua pihak
yang terlibat, dan mencoba untuk merealisasikan tujuan-tujuan organisasi
yang selama ini dianggap tidak mungkin dilaksanakan. Pemimpin penerobos
memahami pentingnya perubahan-perubahan yang mendasar dan besar dalam
kehidupan dan pekerjaan mereka dalam mencapai hasil-hasil yang
diinginkannya. (Dwi Ari Wibawa, 2013)
Dari berbagai studi yang dilakukan,
kepemimpinan transformasional telah terbukti dapat memberikan pengaruh
terhadap inovasi dan kreativitas. Kepemimpinan Transformasional juga
memberi pengaruh positif terhadap usaha bawahan dan kepuasan serta dapat
meningkatkan perilaku etik. (James S. Pounder, 2006).
Di lain pihak, Charles C. Manz &
Henry P. Sims Jr (Martani Huseini, 2010) mengetengahkan model
kepemimpinan yang dikenal dengan sebutan Superleadership. Model Superleadership sangat diperlukan dalam organisasi yang berbasis informasi dengan perubahan yang sangat cepat seperti sekarang ini.
Ide dasar superleadership adalah: (1) mengarahkan individu-individu untuk menjadi “self leader”; (2) mengarahkan tim untuk menjadi “self lead”: dan (3) menyarankan ide untuk mengembangkan budaya “self leadership” melalui organisasi.
Superleadership berkeyakinan bahwa seorang pemimpin yang sukses adalah bila dia bisa menciptakan pemimpin yang baik. Seorang pemimpin Superleader berusaha membimbing orang lain untuk memimpin dirinya sendiri dan membantu pengikutnya untuk mengembangkan kemampuan “self leadership”nya untuk memberikan kontribusi yang maksimal bagi organisasi. Seorang Pemimpin Superleader akan
melipat gandakan kekuatannya melalui kekuatan orang lain dan mendorong
pengikutnya untuk memiliki inisiatif sendiri, rasa tanggung jawab,rasa
percaya diri, penyusunan tujuan sendiri, berfikir positif dan mengatasi
masalahnya sendiri.
Pemimpin Superleader senantiasa mendorong
pengikutnya untuk melaksanakan tanggung jawabnya dari pada memberikan
perintah dan memberi keyakinan bahwa pengikutnya memerlukan informasi
dan ilmu pengetahuan untuk melatih “self leadership”nya.
Salah satu hambatan terbesar untuk
menumbuhkan kepemimpinan guru yaitu masih mendominasinya penerapan model
kepemimpinan “top-down” di sebagian besar sekolah. Guru masih
seringkali diposisikan sebagai bawahan yang harus tunduk dan taat pada
atasan secara taklid.
Oleh karena itu, untuk menumbuhkan kepemimpinan guru memerlukan :
- Pemberdayaan dan dorongan kepada guru untuk menjadi pemimpin dan mengembangkan keterampilan kepemimpinannya.
- Penyediaan waktu dan kesempatan bagi guru agar dapat bekerja menjalankan kepemimpinannya, baik untuk kepentingan pengembangan profesi, kerja kolaboratif, perencanaan bersama, dan membangun jaringan guru.
Dalam konteks ini, tentu dibutuhkan
dukungan dari semua pihak, terutama dari kepala sekolah untuk rela
berbagi kekuasaan dan kewenangan, tanpa harus merasa khawatir akan
kehilangan identitas kewibawaannya. Kepala sekolah harus memiliki
keyakinan bahwa setiap guru pada dasarnya memiliki potensi kepemimpinan,
dan apabila diberi kesempatan untuk mengekspresikan dan
mengaktualisasikan potensi kepemimpinannya, mereka bisa tampil sebagai
pemimpin-pemimpin hebat, yang dapat dimanfaatkan untuk semakin
memperkuat eksistensi sekolah sekaligus melengkapi kepemimpinan
administratif yang menjadi tanggung jawabnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar