Laman

Minggu, 19 Mei 2013

Kepemimpinan Guru (Teacher Leadership)

Kalau kita berbicara tentang kepemimpinan pendidikan, pada umumnya akan tertuju pada peran dan tugas seorang kepala sekolah. Pemahaman dan persepsi seperti ini bisa dimaklumi karena hampir sebagian besar penelitian dan literatur yang membahas tentang kepemimpinan pendidikan lebih cenderung membicarakan tentang kepemimpinan kepala sekolah. Sementara penelitian dan literatur yang mengkaji secara spesifik tentang kepemimpinan guru tampaknya masih relatif terbatas.
Lantas, apa Kepemimpinan Guru (Teacher Leadership) itu? York-Barr and Duke (The Institute for Educational Leadership’s, 2008) mengemukakan rumusan kepemimpinan guru yang sejalan dengan perubahan peran guru dalam konteks perkembangan pendidikan saat ini, bahwa:
“Teacher leadership is the process by which teachers, individually or collectively, influence their colleagues, principals, and other members of the school communities to improve teaching and learning practices with the aim of increased student learning and achievement. Such team leadership work involves three intentional development foci: individual development, collaboration or team development, and organizational development.”
Dari pengertian di atas tampak bahwa kepemimpinan guru pada dasarnya merupakan suatu proses untuk mempengaruhi orang lain yang didalamnya berisi serangkaian tindakan atau perilaku tertentu terhadap invididu yang dipengaruhinya. Kepemimpinan guru tidak hanya sebatas pada peran guru dalam konteks kelas pada saat berinteraksi dengan siswanya tetapi menjangkau pula peran guru dalam berinteraksi dengan kepala sekolah dan rekan sejawat, dengan tetap mengacu pada tujuan akhir yang sama yaitu terjadinya peningkatan proses dan hasil pembelajaran siswa.
Kepemimpinan guru memfokuskan pada 3 dimensi pengembangan, yaitu: (1) pengembangan individu; (2) pengembangan tim; dan (3) pengembangan organisasi.
  1. Dimensi pengembangan individu merupakan dimensi utama yang berkaitan dengan peran dan tugas guru dalam memanfaatkan waktu di kelas bersama siswa. Disini guru dituntut untuk menunjukkan keterampilan kepemimpinannya dalam membantu siswa agar dapat mengembangkan segenap potensi yang dimilikinya, sejalan dengan tahapan dan tugas-tugas perkembangannya. Melalui keterampilan kepemimpinan yang dimilkinya, diharapkan dapat menghasilkan berbagai inovasi pembelajaran, sehingga pada gilirannya dapat tercipta peningkatan kualitas prestasi belajar siswa.
  2. Dimensi pengembangan tim menunjuk pada upaya kolaboratif untuk membantu rekan sejawat dalam mengeksplorasi dan mencobakan gagasan-gagasan baru dalam rangka meningkatkan mutu pembelajaran, melalui kegiatan mentoring, coaching, pengamatan, diskusi, dan pemberian umpan balik yang konstruktif. Dimensi yang kedua ini berkaitan upaya pengembangan profesi guru.
  3. Sedangkan dimensi organisasi menunjuk pada peran guru untuk mendukung kebijakan dan program pendidikan di sekolah (dinas pendidikan), mendukung kepemimpinan kepala sekolah (administrative leadership) dalam melakukan reformasi pendidikan di sekolah serta bagian dari peran serta guru dalam upaya mempertahankan keberlanjutan (sustanability) sekolah.
Ketiga dimensi di atas memberikan gambaran tentang: (1) peran guru dalam memimpin siswanya, (2) peran guru dalam memimpin rekan sejawatnya; dan (3) peran guru dalam memimpin komunitas pendidikan yang lebih luas.
Di Amerika, gagasan tentang kepemimpinan guru (teacher leadership) sudah berlangsung sejak lama, yang terbagi ke dalam 3 (tiga) gelombang.
  1. Gelombang pertama, kepemimpinan guru terkungkung dalam hierarki organisasi formal dan hanya berkutat dalam fungsi-fungsi pengajaran, di bawah kendali ketat dari “atasan guru”. Di sini, guru hanya dipandang sebagai pelaksana keputusan atasan.
  2. Gelombang kedua, kepemimpinan guru telah lepas dari hierarki organisasi konvensional. Di sini, telah terjadi pemisahan antara kepemimpinan dengan fungsi pengajaran, yakni dengan dibentuknya semacam tim pengembang kurikulum secara formal. Walaupun demikian, kepemimpinan guru masih di bawah kendali tim pengembang kurikulum. Tugas guru adalah mengimplementasikan bahan-bahan yang telah disiapkan oleh tim pengembang kurikulum. Pendekatan yang digunakan pada gelombang kedua ini sering disebut sebagai “remote controlling of teachers”.
  3. Gelombang ketiga, konsep kepemimpinan guru telah mengintegrasikan pengajaran dengan kepemimpinan yang tidak bersifat formal. Kepemimpinan guru dipandang sebagai sebuah proses dengan memberikan kesempatan yang luas kepada guru untuk mengekspresikan kapabilitas kepemimpinannya. Konseptualisasi kepemimpinan guru dibangun atas dasar profesionalisme dan kesejawatan. (disarikan dari James S. Pounder, 2006).
Trend kepemimpinan guru di atas, dalam batas-batas tertentu tampaknya tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di  Indonesia. Penerapan konsep Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) yang digulirkan sejak awal masa reformasi yang kemudian diikuti dengan gerakan profesionalisasi guru yang saat ini sedang gencar digaungkan, tampaknya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pergeseran konsep dan makna kepemimpinan guru di Indonesia.
Sesungguhnya banyak model dan gaya kepemimpinan yang bisa diterapkan guru dalam mewujudkan kepemimpinannya. Merideth (2000) menawarkan model kepemimpinan guru dengan apa yang disebut REACH, akronim dari:
  • Risk-Taking. Guru berusaha mencari tantangan dan menciptakan proses baru.
  • Effectiveness. Guru berusaha melakukan yang terbaik, peduli terhadap pertumbuhan dan pengembangan profesinya dan bekerja dengan hati.
  • Autonomy. Guru menampilkan inisiatif, memiliki pemikiran yang independen dan bertanggung jawab.
  • Collegiality. Guru membangun kemampauan komunitasnya dan memiliki keterampilan komunikasi interaktif.
  • Honor. Guru dapat menunjukkan integritas, kejujuran, dan menjaga etika profesi.
Selain itu, guru dapat pula menerapkan gaya Kepemimpinan Transformasional sebagaimana digagas oleh Bass, dengan karakteristik yang dikenal dengan sebutan 4 I, yaitu: idealized influence, inspirational motivation, intellectual stimulation, dan individual consideration.
  1. Idealized influence. Guru merupakan sosok ideal yang dapat dijadikan sebagai teladan, dapat dipercaya, dihormati dan mampu mengambil keputusan yang terbaik untuk kepentingan peningkatan mutu pembelajaran.
  2. Inspirational motivation: guru dapat memotivasi seluruh siswa dan sejawatnya untuk memiliki komitmen terhadap visi organisasi dan mendukung semangat team dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan di sekolah.
  3. Intellectual Stimulation: guru dapat menumbuhkan kreativitas dan inovasi dengan mengembangkan pemikiran kritis dan pemecahan masalah untuk menjadikan pembelajaran ke arah yang lebih baik.
  4. Individual consideration: guru dapat bertindak sebagai pelatih dan penasihat, serta menyediakan umpan balik yang konstruktif bagi siswa dan sejawatnya.
Bryman (1992) menyebut kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan baru (the new leadership), sedangkan Sarros dan Butchatsky (1996) menyebutnya sebagai pemimpin penerobos (breakthrough leadership). Disebut sebagai penerobos karena pemimpin semacam ini mempunyai kemampuan untuk membawa perubahan-perubahan yang sangat besar terhadap individu-individu maupun organisasi dengan jalan: memperbaiki kembali (reinvent) karakter diri individu-individu dalam organisasi ataupun perbaikan organisasi, memulai proses penciptaan inovasi, meninjau kembali struktur, proses dan nilai-nilai organisasi agar lebih baik dan lebih relevan, dengan cara-cara yang menarik dan menantang bagi semua pihak yang terlibat, dan mencoba untuk merealisasikan tujuan-tujuan organisasi yang selama ini dianggap tidak mungkin dilaksanakan. Pemimpin penerobos memahami pentingnya perubahan-perubahan yang mendasar dan besar dalam kehidupan dan pekerjaan mereka dalam mencapai hasil-hasil yang diinginkannya. (Dwi Ari Wibawa, 2013)
Dari berbagai studi yang dilakukan, kepemimpinan transformasional telah terbukti dapat memberikan pengaruh terhadap inovasi dan kreativitas. Kepemimpinan Transformasional juga memberi pengaruh positif terhadap usaha bawahan dan kepuasan serta dapat meningkatkan perilaku etik. (James S. Pounder, 2006).
Di lain pihak, Charles C. Manz & Henry P. Sims Jr (Martani Huseini, 2010) mengetengahkan model kepemimpinan yang dikenal dengan sebutan Superleadership. Model Superleadership sangat diperlukan dalam organisasi yang berbasis informasi dengan perubahan yang sangat cepat  seperti sekarang ini.
Ide dasar superleadership adalah: (1) mengarahkan individu-individu untuk  menjadi “self leader”; (2) mengarahkan tim untuk menjadi “self lead”: dan (3) menyarankan ide untuk mengembangkan  budaya “self leadership” melalui organisasi.
Superleadership berkeyakinan bahwa seorang pemimpin yang sukses adalah bila dia bisa menciptakan pemimpin yang baik. Seorang pemimpin Superleader berusaha membimbing orang lain untuk memimpin dirinya sendiri dan membantu pengikutnya untuk mengembangkan kemampuan “self leadership”nya untuk memberikan kontribusi yang maksimal bagi organisasi.  Seorang Pemimpin Superleader akan melipat gandakan kekuatannya melalui kekuatan orang lain dan mendorong pengikutnya untuk memiliki inisiatif sendiri, rasa tanggung jawab,rasa percaya diri, penyusunan tujuan sendiri, berfikir positif dan mengatasi masalahnya sendiri.
Pemimpin Superleader senantiasa mendorong pengikutnya untuk melaksanakan tanggung jawabnya dari pada memberikan perintah dan memberi keyakinan bahwa pengikutnya memerlukan informasi dan ilmu pengetahuan untuk melatih “self leadership”nya.
Salah satu hambatan terbesar untuk menumbuhkan kepemimpinan guru yaitu masih mendominasinya penerapan model kepemimpinan “top-down” di sebagian besar sekolah. Guru masih seringkali diposisikan sebagai bawahan yang harus tunduk dan taat pada atasan secara taklid.
Oleh karena itu, untuk menumbuhkan kepemimpinan guru memerlukan :
  • Pemberdayaan dan dorongan kepada guru untuk menjadi pemimpin dan mengembangkan keterampilan kepemimpinannya.
  • Penyediaan waktu dan kesempatan bagi guru agar dapat bekerja menjalankan kepemimpinannya, baik untuk kepentingan pengembangan profesi, kerja kolaboratif, perencanaan bersama, dan membangun jaringan guru.
Dalam konteks ini, tentu dibutuhkan dukungan dari semua pihak, terutama dari kepala sekolah untuk rela berbagi kekuasaan dan kewenangan, tanpa harus merasa khawatir akan kehilangan identitas kewibawaannya. Kepala sekolah harus memiliki keyakinan bahwa setiap guru pada dasarnya memiliki potensi kepemimpinan, dan apabila diberi kesempatan untuk mengekspresikan dan mengaktualisasikan potensi kepemimpinannya, mereka bisa tampil sebagai pemimpin-pemimpin hebat, yang dapat dimanfaatkan untuk  semakin memperkuat eksistensi sekolah sekaligus melengkapi kepemimpinan administratif yang menjadi tanggung jawabnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar